BERITA TERBARU HARI INI – Asosiasi Sebut Zonasi Penjualan Rokok Potensi Gerus Pendapatan 9 Juta Pedagang. Asosiasi Pasar Rakyat Seluruh Indonesia (Aparsi) menolak aturan tembakau di Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan yang merupakan aturan pelaksana dari Undang-Undang (UU) Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023. Khususnya terkait larangan penjualan rokok dengan zonasi 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak.
Ketua Umum APARSI Suhendro khawatir atas aturan larangan penjualan rokok dengan zonasi 200 meter ini. Ia menegaskan bahwa rencana larangan penjualan rokok dengan zonasi 200 meter itu tidak berpihak pada rakyat kecil.
“Aturan ini menimbulkan perdebatan yang makin meresahkan nasib para pedagang pasar ke depannya. Hal ini juga menimbulkan pertanyaan apakah aturan ini ingin menekan jumlah konsumsi perokok atau justru menekan pendapatan para pedagang pasar,” ungkapnya, Kamis (4/7/2024).
Selain itu, aturan tersebut berpotensi menggerus pendapatan sekitar 9 juta pedagang pasar yang berada di 9.000 pasar yang tersebar di seluruh Indonesia. Padahal, saat ini para pedagang pasar tengah mengalami tekanan akibat harga sembako yang tak kunjung stabil.
Maka, ia menilai aturan baru ini dapat dipastikan akan menambah beban pedagang hingga dapat mengancam keberlangsungan usaha mereka.
“Aturan ini bisa berdampak pada sekitar 9 juta pedagang pasar di seluruh Indonesia. Banyak di antara mereka yang berjualan rokok dan menggantungkan pendapatan-nya pada rokok. Usaha mereka yang akan jadi taruhannya,” tegasnya.
Suhendro lantas memohon kepada pemerintah, khususnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mengeluarkan aturan tembakau dari RPP Kesehatan, apabila pasal aturan larangan penjualan rokok dengan zonasi 200 meter tetap berada di dalamnya.
“Kami meminta pemerintah agar menimbang kembali dampak yang akan dirasakan oleh para pedagang pasar apabila aturan ini disahkan. Kehidupan pasar rakyat semestinya dilindungi oleh pemerintah, bukan malah dirugikan,” pungkasnya.
Peritel Berpotensi Rugi Rp 20 Triliun Imbas Ketentuan Ini
Sebelumnya, Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) tegas menolak pasal tembakau dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan atau RPP Kesehatan. Lantaran, aturan pelaksana dari Undang-Undang (UU) tentang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 ini dinilai berpotensi mengancam keberlangsungan usaha ritel.
Ketua Dewan Penasihat Hippindo Tutum Rahanta mengutarakan, sebagai salah satu komoditas yang diperjualbelikan di ritel, produk tembakau semisal rokok menyumbang angka pendapatan usaha yang besar. Sehingga aturan ini dipastikan akan merugikan usaha.
Pada 2023, estimasi total nilai penjualan produk tembakau nasional pada ritel modern mencapai Rp 40 triliun. Itu berpotensi hilang hingga Rp 20 triliun lebih akibat aturan tersebut gara-gara rokok dilarang diperjualbelikan di area tertentu dekat sekolah.
“Jika aturan ini disahkan, maka diperkirakan lebih dari setengah jumlah pendapatan tersebut akan lenyap. Hal ini karena terdapat ratusan ribu ritel modern yang akan terdampak dari aturan tembakau di RPP Kesehatan, khususnya dari rencana larangan penjualan rokok dengan zonasi 200 meter dari tempat pendidikan dan tempat bermain anak,” kata Tutum, Rabu (3/7/2024).
Tutum lantas menyayangkan adanya polemik aturan tembakau di RPP Kesehatan yang saat ini masih jadi perdebatan. Padahal, aturan produk tembakau yang saat ini berlaku dinilai sudah baik dari sisi peraturan dan implementasinya. Pelaku usaha juga sudah menaati aturan penjualan produk tembakau sesuai ketentuannya.
“Aturan yang berlaku saat ini untuk tata cara penjualan rokok itu sudah komprehensif. Dengan memperketat aturan tembakau di RPP Kesehatan, seperti aturan zonasi 200 meter dari pusat pendidikan dan tempat bermain anak, ini akan menjadi sangat bias dan menimbulkan ketidakpastian di lapangan,” tegasnya.
Bakal Ganggu Usaha
Selain itu, Tutum juga melihat aturan penjualan produk tembakau yang tercantum di RPP Kesehatan akan mengusik keberlangsungan usaha dan aturan yang sebelumnya sudah berlaku.
“(Penjualan) kalau diganggu pasti akan berdampak terhadap timbulnya kesempatan lain. Saya kira nanti (akan) timbul (penjualan produk tembakau) di pasar gelap dan membludak. Sehingga pemerintah nanti akan sulit untuk mengontrol peredarannya,” imbuhnya.
Fenomena ini menegaskan aturan zonasi 200 meter untuk penjualan produk tembakau belum tentu dapat dikontrol dampaknya di lapangan dan akan menimbulkan ketidakpastian usaha. Oleh karena itu, Tutum menegaskan, jangan sampai ada aturan baru bagi produk tembakau yang menganggu penjualan peritel.
“Selama barang yang dijual (adalah produk) legal, maka sebaiknya diatur saja, tapi jangan sampai ganggu proses penjualannya di lapangan. Sekali lagi, implementasi (dari aturan tembakau di RPP Kesehatan) itu akan berpotensi menimbulkan perdebatan dan ketidakpastian,” ungkapnya.
Kenaikan Cukai Rokok Jegal Pertumbuhan Industri Hasil Tembakau
Sebelumnya, kenaikan Cukai Hasil Tembakau (CHT) atau cukai rokok dinilai tidak efektif untuk mengendalikan konsumsi dan mengoptimalkan penerimaan negara. Pada Mei 2024 penerimaan cukai turun 12,6 persen, utamanya disinyalir akibat banyaknya warga yang beralih ke rokok murah atau rokok ilegal.
Padahal, Sekretaris Jenderal Komunitas Kretek Aditya Purnomo mengatakan, saat ini segmen sigaret kretek tangan (SKT) dalam industri hasil tembakau (IHT) mulai bertumbuh, setelah sebelumnya permintaan untuk segmen ini terus turun.
Pemulihan SKT yang merupakan sektor padat karya berefek pada penambahan tenaga kerja, dan meningkatnya penyerapan tembakau dari petani.
“Saat ini (SKT) sedang bagus. Perusahaan-perusahaan besar mulai menata ulang penjualan di sektor SKT-nya yang juga meningkatkan tenaga kerja yang baru. Saya kira ini kesempatan kerja yang sangat baik untuk tenaga kerja di SKT,” ungkap Aditya dalam keterangan tertulis, Senin (1/7/2024).
Namun, ia melihat segmen SKT masih belum mendapatkan perlindungan penuh dari pemerintah. Sebaliknya, kebijakan pemerintah dinilai tidak mendukung kelangsungan industri, seperti kebijakan cukai rokok yang sangat tinggi dan RPP Kesehatan yang berbahaya bagi pertumbuhan industri.
“Selama regulasi yang membahayakan segmen SKT itu masih ada, ditambah dengan kebijakan cukai yang masih tidak berpihak kepada industri dimana besarannya ditentukan tanpa melihat faktor ekonomi juga inflasi, maka dapat dikatakan pemerintah masih belum melindungi atau memperhatikan para pekerja di sektor SKT,” tegasnya.
Aditya mengatakan, kebijakan kenaikan cukai rokok yang tinggi masih belum efektif untuk menekan angka prevalensi perokok. Justru kebijakan itu berdampak pada keberlangsungan pekerja di sektor SKT.
“Saya kira kebijakan-kebijakan ke depannya (salah satunya cukai) harus lebih progresif dan lebih akomodatif terhadap kepentingan stakeholder dan masyarakat yang hidup dari sektor kretek,” ujarnya.